Hegemoni Kultural
Pada abad pertengahan yaitu sekitar tahun 476 M hingga tahun 1000 M adalah Zaman Kegelapan atau Dark Ages di sebagian besar wilayah Eropa. Fakta sejarah pada periode ini benar-benar samar bahkan sulit untuk dibuktikan secara historis. Namun Zaman Kegelapan tidak benar-benar gelap sepenuhnya. Baigent, Leigh, dan Lincon dalam Holy Blood, Holy Grail berpendapat: “Ada sebuah dugaan bahwa pada masa tersebut, fakta sejarah dibuat menjadi gelap atau buram untuk sebuah tujuan tertentu. Pada periode tersebut Gereja Roma menerapkan pembelajaran yang ketat, terutama menulis, catatan yang berhasil diselamatkan menunjukan minat yang luas pada periode tersebut. Sayangnya, nyaris semua tulisan penting hilang atau disensor secara massal. Inilah kegelapan.” Dari sisa-sisa kegelapan tersebut ada seberkas cahaya yang berpendar kemudian menjadi sebuah fakta sejarah yang dapat disusun secara historis dan membentuk sebuah realita tandingan yang sangat bertentangan dengan prinsip ortodoksi saat itu.
Zaman Kegelapan di Eropa tersebut adalah sebuah contoh yang nyata perihal penegasian Kearifan Lokal sebuah masyarakat minoritas oleh masyarakat mayoritas yang telah mendapatakan legalitas formal sebagai masyarakat kelas penguasa. Ada sebuah hegemoni kultural yang meredam bahkan mencoba untuk menghapus kesadaran kolektif sebuah masyarakat akan nilai-nilai budaya dan sejarahnya. Donald A. Mackenzie dalam Indian Myth and Legend berpendapat bahwa mitos dan legenda di India tidak terlepas dari sejarah kedatangan bangsa Arya—Mackenzie melakukan analisa wacana yang kritis pada kisah Ramayana dan Mahabaratha dengan pendekatan hermeunetik, sosio-kultural, etno-antropologi, dan filologi. Dari pernyataan Mackenzie dapat ditarik asumsi yang secara umum yang menyatakan bahwa para pemenang akan selalu menulis sejarahnya sendiri, mengdiskreditkan, dan menganeksasi lawannya yang tersungkur kalah.
Hal tersebut benar-benar terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia dari masa kerajaan yang gemilang dengan kejayaan hingga masa NKRI yang dihinggapi berbagai masalah dan kemalangan; hegemoni kultural mendapatkan pemaknaannya. Pada masa Orde Baru, Kearifan Lokal atau kebudayaan daerah dituntut untuk mengalah terhadap kebudayaan nasional demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta tentu saja demi terciptanya pembangunan ekonomi yang pesat. Pun dalam beberapa dekade berhasil meningkatkan ketahanan nasional namun modernisasi yang mengusung kebudayaan barat telah mengabaikan, mendistorsi, menegasi, bahkan menghancurkan Kearifan Lokal dan budaya daerah ke level yang paling fatal. Kemudian Kearifan Lokal sendiri kembali bergema setelah banyak kekecewaan pada prinsif-prinsif modernisme yang—nampaknya—gagal menjawab invasi globalisasi yang meruntuhkan tatanan moralitas masyarakat Indonesia.
Kearifan Lokal Dalam Keberagaman Budaya
Bukan perkara yang mudah untuk mendiskusikan Kearifan Lokal atau budaya daerah di Indonesia. Apalagi mengaktualisasikannya menjadi sebuah entitas yang manunggal mengingat dalam Bayang-Bayang Tuhan, Agama, dan Imajimasi karya Yasraf Amir Piliang berpendapat bahwa: “Di dalam kebudayaan terdapat persoalan pembentukan konsep diri (self), yaitu persepsi seseorang individu terhadap dirinya yang disebut sebagai problem subjektivitas (subjectivity). Seorang individu diubah statusnya menjadi subjek sekali ia dipanggil (interpellated) oleh sebuah sistem: bahasa, ideologi, keyakinan, dan kesadaran.” Kompleksitas dari sebuah relasi budaya di Indonesia dapat dianalogikan sebagai dua wajah Batara Kresna, antara keniscahyaan sebuah konsep ideologi dan kelicikan bermanuver sebagai seorang praktisi. Karena persoalan subjektivitas adalah melulu persoalan identitas, dan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia identitas adalah saripati masa lalu yang artinya identitas kesukuan tidak mungkin dilebur begitu saja demi memanunggalkan diri dengan yang lainnya, mengingat sejarah panjang bangsa Indonesia memaparkan sebuah sistem kasta dimana ada masyarakat yang dominan menggemgam kekuasaan dan ada masyarakat lain yang ‘terjajah’. Itulah sebabnya apa yang di sebut sebagai budaya nasional gagal, karena tidak mampu untuk mewadahi subtansi-subtansi kearifan lokal yang bersifat minoritas.
Ada sebuah stigma negatif yang melekat pada Kearifan Lokal. Hal tersebut terutama sekali menyangkut sistem kepercayaan para leluhur kita yang bercorak animisme, dinamisme, dan pantheisme. Hal tersebut menurut Mircea Eliade dalam bukunya Sakral dan Profan terjadi karena: “Situasi eksistensial manusia modern yang hidup di dalam kosmos yang didesakralisasikan dan fakta-fakta kultural yang berbeda.” dan hal tersebut pun terjadi bagi manusia modern yang religius dan menjadikan agama formal sebagai batas dan pembatasan itu sendiri. Sehingga apapun di luar ajaran agama yang bersifat formal adalah haram. Sebetulnya, menurut Peter Connolly dalam Approaches To The Study Of Religion: “Agama adalah berbagai keyakinan yang mencakup penerimaan pada yang suci (sacred), wilayah transempiris dan berbagai perilaku yang dimaksudkan untuk memengaruhi relasi seseorang dengan wilayah yang transempiris itu… Maka, agama dapat bersifat komunal atau individual. Dan hal yang terpenting adalah keyakinan pada yang suci (the sacred).” Jika saja kita mau memahami keyakinan para leluhur kita terhadap Tuhan, maka stigma negatif tersebut tidak akan menjadi masalah yang besar untuk diperdebatkan karena Tuhan Yang Maha Satu telah dipersepsikan oleh berbagai kelompok manusia sepanjang sejarah. Dan dalam tingkat kesadaran spiritual, para leluhur kita lebih ‘modern’ dibanding kita, manusia yang modern.
Salah satu yang menyebabkan Kearifan Lokal di tanah Indonesia sulit untuk dikembangkan kembali adalah karena ketakutan atau ketaatan dogmatis individu masyarakat Indonesia pada ajaran agama formalnya. Bagi masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam, budaya terlepas dari agama dan agama bukanlah produk dari kebudayaan. Tentu saja hal ini tidak sepenuhnya benar, kerena apabila manusia religius menyakini mereka diciptakan oleh Tuhan, maka Tuhanlah yang menciptakan budaya karena manusia adalah ciptaan Tuhan. Penalaran semacam ini perlu dikembangkan guna membangkitkan kembali minat untuk memelajari kearifan lokal daerahnya masing-masing. Maka kemanunggalan sosial antara budaya di Negara ini setidaknya akan lebih teratur dalam bingkai egaliter, mengingat prinsip dasar Kearifan Lokal di Nusantara adalah komunalisme. Hal tersebut sesuai dengan ajaran Islam yang betul-betul bercorak sosilalisme. Kita memerlukan sebuah paragdigma baru dalam membaca Kearifan Lokal dengan perspektif yang berbeda. Hal tersebut tidak lain adalah untuk membuka tabir dan menyingkap tirai-tirai keluhuran nilai budaya lokal masing-masing daerah sehingga tercipta kesadaran yang akan membukakan jati diri sebuah bangsa yang berbudaya tinggi karena kemajemukan Kearifan Lokalnya.
Kearifan Lokal Masyarakat Sunda
Budaya Sunda dan kearifan lokalnya pun tak luput dari serbuan dekaden global yang menggurita. Pun betul adanya bahwa sumber-sumber sejarah masyarakat Sunda minim dan hanya sedikit sekali penginggalan arkeologis sebagai bukti eksistensinya. Namun dari fakta-fakta sejarah yang tersebar luas tersebut dapat dibangun sebuah konsep umum mengenai Kearifan Lokal masyarakat Sunda yang penuh dengan kesadaran tinggi yang menjadi dasar dan membangun kebudayaan masyarakat Sunda dengan nilai-nilai luhur manusia yang berakal dan berbudaya tinggi. Kearifan Lokal masyarakat Sunda setidaknya tercermin dari 3 bentuk yang dominan: Relasi manusia dengan manusia, Relasi manusia dengan alam, dan relasi manusia dengan Tuhan.
Manusia Dengan Manusia
Masyarakat Sunda sendiri dalam relasi antar manusianya bersifat sangat komunal. Artinya mengedepankan prinsif-prinsif kebersamaan. Menukil artikel dari Dr. Gugun Gunadi, M.Si bahwa dalam masyarakat Sunda ada ungkapan: “silih asih, silih asah, dan silih asuh”, yang artinya: saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan.” Ungkapan “silih asih, silih asah, dan silih asuh” adalah sebuah konsep filosofis yang sarat akan makna egaliter, dan menempatkan prinsif-prinsif humanisme pada level yang paling tinggi. Artinya, manusia yang satu adalah penolong bagi manusia lainya.
Konsep relasi antar manusia menurut masyarakat Sunda sendiri begitu sesuai dengan konsep relasi antar manusia dalam ajaran agama Islam yang kentara dengan nilai-nilai sosialimse. Hal tersebut seharusnya menjadikan masyarakat Sunda sebagai masyarakat yang Madani, yang unggul dalam aspek sosial apabila dipraktekan dalam keseharian. Prinsip dasar inilah yang seharusnya menjadi kekuatan tersendiri dalam menjawab tantangan zaman. Apabila pemaknaan akan ungkapan tersebuh dipahami dan diaplikasikan pada kehidupan yang nyata, maka tantangan zaman seberat apapun akan teratasi dengan sedikit mudah.
Manusia Dengan Alam
Bagi Sir Francis Bacon seorang filsuf Inggris abad ke-16, “Alam hanya bisa ditaklukan dengan cara mematuhinya memahami hukum-hukumnya, mempelajari sifat-sifat universalnya, dan pengecualian-pengeculaiannya.” Dengan menaklukan alam, Bacon sangat yakin bahwa kehidupan manusia akan lebih baik dan sejahtera. Sebetulnya, jauh sebelum Sir Francis Bacon menyatakan hal tersebut, masyarakat Sunda—Baduy— sekitar abad ke-7 lebih dahulu mengenal konsep: “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun.” Yang artinya: “Gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak, larangan tak boleh dilanggar, buyut tak boleh diubah, panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung, yang bukan harus ditiadakan, yang jangan harus dinafikan, yang benar harus dibenarkan.”
Dari konsep masyarakat Sunda Baduy tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Sunda betul-betul menjaga alam sekitarnya. Masyarakat Sunda sadar betul bahwa alam adalah penyedia kehidupan dan menyadari bahwa ada hubungan relasional antara alam dan manusia. Konsep tersebut cenderung bersifat kosmologi. Dimana ada kemanunggalan antara alam dan manusia; bahwa alam semesta (termasuk manusia) adalah sebuah organisme tunggal yang apabila kita—organisme yang tunggal tersebut—membuat perbedaan dan memisahkan dari dalam dirinya sendiri maka hasilnya adalah kehancuran. Kesadaran masyarakat Sunda akan alam sekitarnya adalah sebuah tingkat kesadaran yang mumpuni, berbeda jauh dengan kesadaran masyarakat modern saat ini. Ataukah arti kata manusia modern tersebut sudah terbalik?
Manusia Dengan Tuhan
Rudolf Otto dalam The Idea of the Holy menjelaskan bahwa rasa percaya akan yang gaib—yang ia sebut numinous—adalah dasar dari agama. Kepercayaan kepada yang gaib atau Tuhan inilah yang selalu diterjemahkan di dalam setiap kultur masyarakat. Hal tersebut tidak lain untuk menghubungkan misteri yang gaib tersebut dengan kehidupan sehari-hari. Tuhan yang satu lalu ditransformasikan kedalam berbagai bahasa manusia, dari bahasa tersebut lahir sebuah pemahaman yang menggambarkan imaji Tuhan dalam bentuk yang nyata. Manusia selalu berusaha mendekatkan Yang Tak Terjangkau kedalam wujud nyata, bukan untuk memprofanisasikannya melainkan untuk mengsakralkan kehidupan manusia itu sendiri; manusia menyadari bahwa relasinya dengan Tuhan adalah sebuah kedekatan transendental yang personal pun dalam sebuah masyarakat yang heterogen.
Masyarakat Sunda sendiri, pada mulanya menganut keyakinan monotheisme primodial. Artinya memercayai keesaan Tuhan, dan memaknai bahwa semesata adalah sebuah entitas tunggal yang berasal dan berpulang hanya kepadaNya. Dalam salah satu sumber masyarakat Baduy disebutkan: “Niya inyana anu muhung di ayana. Aya tanpa rupa aya tanpa waruga. Hanteu kaambeu-ambeu acan tapi wasa maha kawasa disagala karep inyana. Hyang tunggal tatwa pangajali. Ngawandawa dijagat kabeh alam sakabeh. Halanggiya disaniskara. Hung tatiya ahung”. Yang artinya: “Dia lah yang ada dengan sendirinya. Tiada yang serupa denganNya (Dzat laetsa kamistlihi saeun) Tidak tercium sedikitpun. Tapi berkuasa atas segala qudrat dan iradatNya. Sang Hyang Agung Yang Maha Esa. Dialah sebenarnya Sang “Penyembahan” Tiada beranak Tiada bersaudara. Mempunyai teman pun tidak dijagat dan dialam ini Yang paling unggul disegala-gala. Hung, nah itulah Sang Benar Sejati, Ahung.”
Pada perkembangannya keyakinan masyarakat Sunda mengalami sinkretisme dengan ajaran Hindu dan Buddha. Namun dewa-dewa dalam ajaran Hindu dan Buddha ditempatkan dalam level yang lebih rendah sehingga masyarakat Sunda tetap berkeyakinan bahwa realitas tertinggi hanyalah Tuhan Yang Maha Satu: Hyang Tunggal. Peleburan agama Hindu-Buddha kedalam keyakinan masayarakat Sunda sifatnya begitu pragmatis dan hanya dipahami sebagai bentuk pemahaman akan alam semesta; menjelaskan misteri semesta yang tak terperanai. Lalu pada masa selanjutnya, kedatangan agama Islam mendapatkan sambutan yang hangat, masyarakat Sunda seakan kembali kepada keyakinan tunggal akan Tuhan Yang Esa tanpa ilah-ilah pendukung untuk menjelaskan misteri semesta.
Masyarakat Sunda selalu percaya bahwa yang gaib bersemayam didalam alam raya dan oleh akrena itulah masyarakat Sunda begitu menjaga alam sekitarnya. Hal tersebut memberikan sebuah asumsi bahwa dasar kultur masyarakat Sunda adalah kepercayaan yang kuat terhadap yang gaib sehingga tingkat kesadaran mereka begitu tinggi dalam menjaga semesta beserta isinya. Kepercayaan tersebut jelas tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang memang mengajarkan Keesaan Tuhan dan Kebesaran Tuhan yang meliputi semesta beserta isinya. Apa bila penghayatan terhadap keyakinan masyarakat Sunda dihayati kembali dengan penalaran yang lebih kritis maka keniscahyaan akan terbuka lebar dalam upaya untuk menyelamatkan moral bangsa yang berguguran.
Salah satu alasan mengapa agama tidak relevan dalam menjawab tantangan global adalah karena kita membuat, dan menghidupi alam kosmos yang didesakralisasikan oleh kultur ilmiah. Pun benar adanya kultur ilmiah telah membawa kemajuan dalam bidang material namun hal tersebut secara langsung telah membunuh kepekaan kita terhadap yang sakral dan melahirkan budaya milenium yakni Nihilisme akut. Sudah saatnya kita kembali pada ajaran agama dan kearifan lokal dari keyakinan kita. Hal tersebut telah terbukti berdampak besar bukan hanya bagi kehidupan spirtitual namun bagi relasi-relasi manusia dan semesta.
Kearifan Lokal Sunda VS Nihilisme Global
Nihilisme adalah runtuhnya seluruh nilai dan makna yang meliputi semua bidang kehidupan manusia; yang terbagi menjadi dua yakni keagamaan (moral) dan Ilmu pengetahunan (sains). Wabah nihilisme sendiri berasal dari keruntuhan budaya barat yang tak terelakan. Friedrich Wilhelm Nietzsche menyatakan bahwa untuk melawan nihilisme adalah dengan nihilisme pula. Nihilisme aktif, mengakatan ya pada tantangan zaman. Tidak duduk diam dan menjadi seorang fatalis.
Konsep Nietzsche sendiri secara historis dialektis memang berbicara pada area budaya barat. Nietzsche pun sebetulnya me-reformulasikan kearifan lokal masyarakat Yunani kuno pada abad ke-5, dimana dalam pandangannya masyarakat tersebut telah berhasil mengatakan ya pada kesemerautan globalisasi dan nihilismenya. Adalah kita seharusnya menapak tilas dan menelaah ulang kearifan budaya kita agar dijadikan sebagai sebuah tameng yang mampu untuk menahan serangan sporadis dari nihilisme dan budaya global yang semakin tak keruan.
Kearifan Lokal budaya Sunda dalam tiga aspek relasi tersebut adalah sebuah kemanunggalan yang dapat membawa kita kepada tingkat kesadaran yang tinggi. Dasar dari kearifan Lokal masyarakat Sunda adalah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan tersebut bukan semata dalam konsep dogmatisnya saja namun direalisakan sebagai sebuah inti yang memengaruhi relasi lainnya. Bila kesadaran akan Tuhan telah tercipta dengan baik makan kesadaran akan relasi dengan semesta akan berjalan dengan baik pula. Masyarakat Sunda dengan kearifan lokalnya menyadari betul bahwa semesta adalah sebuah organisme tunggal. Bahwa manusia dam alam sekitarnya adalah mahluk yang harus saling menghormati, masyarakat Sunda meyakini sebuah konsekuensi logis dari segala sesuatu yang kita lakukan.
Kearifan Lokal masyarakat Sunda seharusnya dapat menjawab nihilisme karena prinsif komunalismenya yang akan membawa semangat egalitarianisme ke level yang paling tinggi, dan apabila hal tersebut dilakukan makan kepasifan dalam berkehidupan tidak akan terjadi. Setiap individu akan berusaha untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas demi kebahagian bersama yang langgeng. Setiap individu akan berusaha melakukan yang terbaik bagi sesamanya dan lingkungan sekitarnya karena kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menjadi mahluk Tuhan adalah menjadi mahluk yang bermanfaat bagi semesta. Dalam konteks budaya lokal dan budaya nasional bangsa Indonesia, pemahaman terhadap kearifan lokal dengan pandangan yang baru akan membuat slogan Bhineka Tunggal Ika menemukan pemaknaannya dalam konstelasi multi-kulturalisme yang manunggal, bersatu dalam keberagaman menuju satu kehidupan yang lebih baik.
Betul adanya bahwa sifat dari budaya dan kearifan lokal adalah pragmatis, yang artinya memiliki nilai guna yang berkesesuaian dengan kebutuhannya. Heraklitus menyatakan: “Panta rei, ouden menei.” Baginya, perubahan itu konstan yakni segalanya berubah kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan boleh jadi muncul pada ruang yang mewaktu dan waktu yang meruang; keduanya bertaut memintal hal-ikhwal, dan bergerak mencipta peristiwa. Itulah sebabnya perubahan muncul sebagai dualitas. Dalam dikotomi tersebut ajektif manusia tak seutuhnya dibentuk dalam kehistorisan kultural yang kaku, namun dalam kesederhanaan nilai-nilai lokal yang pragmatis namun tak selalu harus menuju ruang yang dekaden.
Referensi:
· Sunardi, St. 1996. Nietzsche. Yogyakarta: Lkis.
· Armstrong, Karen. 2006. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.
· Piliang, Yasraf A. 2011. Bayang-Bayang Tuhan, Agama, dan Imajinasi. Bandung: Mizan
· Ajidarma, Seno Gumira. 2002. Surat Darin Palmerah. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
· Eliade, Mircea. 2002. Sakral dan Profan (Menyingkap Hakikat Agama). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
· Hardian, Budi F. 2004. Filsafat Modern (Dari Machiavelli Sampai Nietzsche). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
· Connolly, Peter (ed). 2002. Aneka pendekatan Agama. Yogyakarta: Lkis.
· Sunyoto, Agus. 2006. Rahuvana Tattwa. Yogyakarta: Pustaka Sastra Lkis.
· Baigent, dan Leighh, dan Lincoln. 2006. Holy Blood, Holy Grail. Jakarta: Ufuk Press.
· Dr. Gugun Gunadi, M.Si. Reformulasi Kearifan Lokal Dalam Era Global. Makalah Martikulasi Program Pascasarjana STSI Bandung, 16 Maret 2012.