Kamis, 29 Maret 2012

Kearifan Lokal Sunda dan Nihilisme Global

27 Maret 2012, Sebetulnya ini adalah tugas kuliah. Namun silahkan, tidak ada salahnya juga saya share. Salamat membaca, mudah-mudahan bermanfaat.

Hegemoni Kultural
Pada abad pertengahan yaitu sekitar tahun 476 M hingga tahun 1000 M adalah Zaman Kegelapan atau Dark Ages di sebagian besar wilayah Eropa. Fakta sejarah pada periode ini benar-benar samar bahkan sulit untuk dibuktikan secara historis. Namun Zaman Kegelapan tidak benar-benar gelap sepenuhnya. Baigent, Leigh, dan Lincon dalam Holy Blood, Holy Grail berpendapat: “Ada sebuah dugaan bahwa pada masa tersebut, fakta sejarah dibuat menjadi gelap atau buram untuk sebuah tujuan tertentu. Pada periode tersebut Gereja Roma menerapkan pembelajaran yang ketat, terutama menulis, catatan yang berhasil diselamatkan menunjukan minat yang luas pada periode tersebut. Sayangnya, nyaris semua tulisan penting hilang atau disensor secara massal. Inilah kegelapan.” Dari sisa-sisa kegelapan tersebut ada seberkas cahaya yang berpendar kemudian menjadi sebuah fakta sejarah yang dapat disusun secara historis dan membentuk sebuah realita tandingan yang sangat bertentangan dengan prinsip ortodoksi saat itu.

Zaman Kegelapan di Eropa tersebut adalah sebuah contoh yang nyata perihal penegasian Kearifan Lokal sebuah masyarakat minoritas oleh masyarakat mayoritas yang telah mendapatakan legalitas formal sebagai masyarakat kelas penguasa. Ada sebuah hegemoni kultural yang meredam bahkan mencoba untuk menghapus kesadaran kolektif sebuah masyarakat akan nilai-nilai budaya dan sejarahnya. Donald A. Mackenzie dalam Indian Myth and Legend berpendapat bahwa mitos dan legenda di India tidak terlepas dari sejarah kedatangan bangsa Arya—Mackenzie melakukan analisa wacana yang kritis pada kisah Ramayana dan Mahabaratha dengan pendekatan hermeunetik, sosio-kultural, etno-antropologi, dan filologi. Dari pernyataan Mackenzie dapat ditarik asumsi yang secara umum yang menyatakan bahwa para pemenang akan selalu menulis sejarahnya sendiri, mengdiskreditkan, dan menganeksasi lawannya yang tersungkur kalah.

Hal tersebut benar-benar terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia dari masa kerajaan yang gemilang dengan kejayaan hingga masa NKRI yang dihinggapi berbagai masalah dan kemalangan; hegemoni kultural mendapatkan pemaknaannya. Pada masa Orde Baru, Kearifan Lokal atau kebudayaan daerah dituntut untuk mengalah terhadap  kebudayaan nasional demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta tentu saja demi terciptanya pembangunan ekonomi yang pesat. Pun dalam beberapa dekade berhasil meningkatkan ketahanan nasional namun modernisasi yang mengusung kebudayaan barat telah mengabaikan, mendistorsi, menegasi, bahkan menghancurkan Kearifan Lokal dan budaya daerah ke level yang paling fatal. Kemudian Kearifan Lokal sendiri kembali bergema setelah banyak kekecewaan pada prinsif-prinsif modernisme yang—nampaknya—gagal menjawab invasi globalisasi yang meruntuhkan tatanan moralitas masyarakat Indonesia.


Kearifan Lokal Dalam Keberagaman Budaya
Bukan perkara yang mudah untuk mendiskusikan Kearifan Lokal atau budaya daerah di Indonesia. Apalagi mengaktualisasikannya menjadi sebuah entitas yang manunggal mengingat dalam Bayang-Bayang Tuhan, Agama, dan Imajimasi karya Yasraf Amir Piliang berpendapat bahwa: “Di dalam kebudayaan terdapat  persoalan pembentukan konsep diri (self), yaitu persepsi seseorang individu terhadap dirinya yang disebut sebagai problem subjektivitas (subjectivity). Seorang individu diubah statusnya menjadi subjek sekali ia dipanggil (interpellated) oleh sebuah sistem: bahasa, ideologi, keyakinan, dan kesadaran.”  Kompleksitas dari sebuah relasi budaya di Indonesia dapat dianalogikan sebagai dua wajah Batara Kresna, antara keniscahyaan sebuah konsep ideologi dan kelicikan bermanuver sebagai seorang praktisi. Karena persoalan subjektivitas adalah melulu persoalan identitas, dan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia identitas adalah saripati masa lalu yang artinya identitas kesukuan tidak mungkin dilebur begitu saja demi memanunggalkan diri dengan yang lainnya, mengingat sejarah panjang bangsa Indonesia memaparkan sebuah sistem kasta dimana ada masyarakat yang dominan menggemgam kekuasaan dan ada masyarakat lain yang ‘terjajah’. Itulah sebabnya apa yang di sebut sebagai budaya nasional gagal, karena tidak mampu untuk mewadahi subtansi-subtansi kearifan lokal yang bersifat minoritas.

Ada sebuah stigma negatif yang melekat pada Kearifan Lokal. Hal tersebut terutama sekali menyangkut sistem kepercayaan para leluhur kita yang bercorak animisme, dinamisme, dan pantheisme. Hal tersebut menurut Mircea Eliade dalam bukunya Sakral dan Profan terjadi karena: “Situasi eksistensial manusia modern yang hidup di dalam kosmos yang didesakralisasikan dan fakta-fakta kultural yang berbeda.” dan hal tersebut pun terjadi bagi manusia modern yang religius dan menjadikan agama formal sebagai batas dan pembatasan itu sendiri. Sehingga apapun di luar ajaran agama yang bersifat formal adalah haram. Sebetulnya, menurut Peter Connolly dalam Approaches To The Study Of Religion: “Agama adalah berbagai keyakinan yang mencakup penerimaan pada yang suci (sacred), wilayah transempiris dan berbagai perilaku yang dimaksudkan untuk memengaruhi relasi seseorang dengan wilayah yang transempiris itu… Maka, agama dapat bersifat komunal atau individual. Dan hal yang terpenting adalah keyakinan pada yang suci (the sacred).” Jika saja kita mau memahami keyakinan para leluhur kita terhadap Tuhan, maka stigma negatif tersebut tidak akan menjadi masalah yang besar untuk diperdebatkan karena Tuhan Yang Maha Satu telah dipersepsikan oleh berbagai kelompok manusia sepanjang sejarah. Dan dalam tingkat kesadaran spiritual, para leluhur kita lebih ‘modern’ dibanding kita, manusia yang modern.

Salah satu yang menyebabkan Kearifan Lokal di tanah Indonesia sulit untuk dikembangkan kembali adalah karena ketakutan atau ketaatan dogmatis individu masyarakat Indonesia pada ajaran agama formalnya. Bagi masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam, budaya terlepas dari agama dan agama bukanlah produk dari kebudayaan. Tentu saja hal ini tidak sepenuhnya benar, kerena apabila manusia religius menyakini mereka diciptakan oleh Tuhan, maka Tuhanlah yang menciptakan budaya karena manusia adalah ciptaan Tuhan. Penalaran semacam ini perlu dikembangkan guna membangkitkan kembali minat untuk memelajari kearifan lokal daerahnya masing-masing. Maka kemanunggalan sosial antara budaya di Negara ini setidaknya akan lebih teratur dalam bingkai egaliter, mengingat prinsip dasar Kearifan Lokal di Nusantara adalah komunalisme. Hal tersebut sesuai dengan ajaran Islam yang betul-betul bercorak sosilalisme. Kita memerlukan sebuah paragdigma baru dalam membaca Kearifan Lokal dengan perspektif yang berbeda. Hal tersebut tidak lain adalah untuk membuka tabir dan menyingkap tirai-tirai keluhuran nilai budaya lokal masing-masing daerah sehingga tercipta kesadaran yang akan membukakan jati diri sebuah bangsa yang berbudaya tinggi karena kemajemukan Kearifan Lokalnya.

Kearifan Lokal Masyarakat Sunda
Budaya Sunda dan kearifan lokalnya pun tak luput dari serbuan dekaden global yang menggurita. Pun betul adanya bahwa sumber-sumber sejarah masyarakat Sunda minim dan hanya sedikit sekali penginggalan arkeologis sebagai bukti eksistensinya. Namun dari fakta-fakta sejarah yang tersebar luas tersebut dapat dibangun sebuah konsep umum mengenai Kearifan Lokal masyarakat Sunda yang penuh dengan kesadaran tinggi yang menjadi dasar dan membangun kebudayaan masyarakat Sunda dengan nilai-nilai luhur manusia yang berakal dan berbudaya tinggi. Kearifan Lokal masyarakat Sunda setidaknya tercermin dari 3 bentuk yang dominan: Relasi manusia dengan manusia, Relasi manusia dengan alam, dan relasi manusia dengan Tuhan.

Manusia Dengan Manusia
Masyarakat Sunda sendiri dalam relasi antar manusianya bersifat sangat komunal. Artinya mengedepankan prinsif-prinsif kebersamaan. Menukil artikel dari Dr. Gugun Gunadi, M.Si bahwa dalam masyarakat Sunda ada ungkapan: “silih asih, silih asah, dan silih asuh”, yang artinya: saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan.” Ungkapan “silih asih, silih asah, dan silih asuh” adalah sebuah konsep filosofis yang sarat akan makna egaliter, dan menempatkan prinsif-prinsif humanisme pada level yang paling tinggi. Artinya, manusia yang satu adalah penolong bagi manusia lainya.

Konsep relasi antar manusia menurut masyarakat Sunda sendiri begitu sesuai dengan konsep relasi antar manusia dalam ajaran agama Islam yang kentara dengan nilai-nilai sosialimse. Hal tersebut seharusnya menjadikan masyarakat Sunda sebagai masyarakat yang Madani, yang unggul dalam aspek sosial apabila dipraktekan dalam keseharian. Prinsip dasar inilah yang seharusnya menjadi kekuatan tersendiri dalam menjawab tantangan zaman. Apabila pemaknaan akan ungkapan tersebuh dipahami dan diaplikasikan pada kehidupan yang nyata, maka tantangan zaman seberat apapun akan teratasi dengan sedikit mudah.

Manusia Dengan Alam
Bagi Sir Francis Bacon seorang filsuf Inggris abad ke-16, “Alam hanya bisa ditaklukan dengan cara mematuhinya memahami hukum-hukumnya, mempelajari sifat-sifat universalnya, dan pengecualian-pengeculaiannya.” Dengan menaklukan alam, Bacon sangat yakin bahwa kehidupan manusia akan lebih baik dan sejahtera. Sebetulnya, jauh sebelum Sir Francis Bacon menyatakan hal tersebut, masyarakat Sunda—Baduy— sekitar abad ke-7 lebih dahulu mengenal konsep: “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun.” Yang artinya: “Gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak, larangan tak boleh dilanggar, buyut tak boleh diubah, panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung, yang bukan harus ditiadakan, yang jangan harus dinafikan, yang benar harus dibenarkan.”
Dari konsep masyarakat Sunda Baduy tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Sunda betul-betul menjaga alam sekitarnya. Masyarakat Sunda sadar betul bahwa alam adalah penyedia kehidupan dan menyadari bahwa ada hubungan relasional antara alam dan manusia. Konsep tersebut cenderung bersifat kosmologi. Dimana ada kemanunggalan antara alam dan manusia; bahwa alam semesta (termasuk manusia) adalah sebuah organisme tunggal yang apabila kita—organisme yang tunggal tersebut—membuat perbedaan dan memisahkan dari dalam dirinya sendiri maka hasilnya adalah kehancuran. Kesadaran masyarakat Sunda akan alam sekitarnya adalah sebuah tingkat kesadaran yang mumpuni, berbeda jauh dengan kesadaran masyarakat modern saat ini. Ataukah arti kata manusia modern tersebut sudah terbalik?

Manusia Dengan Tuhan
Rudolf Otto dalam The Idea of the Holy menjelaskan bahwa rasa percaya akan yang gaib—yang ia sebut numinous—adalah dasar dari agama. Kepercayaan kepada yang gaib atau Tuhan inilah yang selalu diterjemahkan di dalam setiap kultur masyarakat. Hal tersebut tidak lain untuk menghubungkan misteri yang gaib tersebut dengan kehidupan sehari-hari. Tuhan yang satu lalu ditransformasikan kedalam berbagai bahasa manusia, dari bahasa tersebut lahir sebuah pemahaman yang menggambarkan imaji Tuhan dalam bentuk yang nyata. Manusia selalu berusaha mendekatkan Yang Tak Terjangkau kedalam wujud nyata, bukan untuk memprofanisasikannya melainkan untuk mengsakralkan kehidupan manusia itu sendiri; manusia menyadari bahwa relasinya dengan Tuhan adalah sebuah kedekatan transendental yang personal pun dalam sebuah masyarakat yang heterogen.

Masyarakat Sunda sendiri, pada mulanya menganut keyakinan monotheisme primodial. Artinya memercayai keesaan Tuhan, dan memaknai bahwa semesata adalah sebuah entitas tunggal yang berasal dan berpulang hanya kepadaNya. Dalam salah satu sumber masyarakat Baduy disebutkan: “Niya inyana anu muhung di ayana. Aya tanpa rupa aya tanpa waruga. Hanteu kaambeu-ambeu acan tapi wasa maha kawasa disagala karep inyana. Hyang tunggal tatwa pangajali. Ngawandawa dijagat kabeh alam sakabeh. Halanggiya disaniskara. Hung tatiya ahung”. Yang artinya: “Dia lah yang ada dengan sendirinya. Tiada yang serupa denganNya (Dzat laetsa kamistlihi saeun) Tidak tercium sedikitpun. Tapi berkuasa atas segala qudrat dan iradatNya. Sang Hyang Agung Yang Maha Esa. Dialah sebenarnya Sang “Penyembahan” Tiada beranak Tiada bersaudara. Mempunyai teman pun tidak dijagat dan dialam ini Yang paling unggul disegala-gala. Hung, nah itulah Sang Benar Sejati, Ahung.”

Pada perkembangannya keyakinan masyarakat Sunda mengalami sinkretisme dengan ajaran Hindu dan Buddha. Namun dewa-dewa dalam ajaran Hindu dan Buddha ditempatkan dalam level yang lebih rendah sehingga masyarakat Sunda tetap berkeyakinan bahwa realitas tertinggi hanyalah Tuhan Yang Maha Satu: Hyang Tunggal. Peleburan agama Hindu-Buddha kedalam keyakinan masayarakat Sunda sifatnya begitu pragmatis dan hanya dipahami sebagai bentuk pemahaman akan alam semesta; menjelaskan misteri semesta yang tak terperanai. Lalu pada masa selanjutnya, kedatangan agama Islam mendapatkan sambutan yang hangat, masyarakat Sunda seakan kembali kepada keyakinan tunggal akan Tuhan Yang Esa tanpa ilah-ilah pendukung untuk menjelaskan misteri semesta.

Masyarakat Sunda selalu percaya bahwa yang gaib bersemayam didalam alam raya dan oleh akrena itulah masyarakat Sunda begitu menjaga alam sekitarnya. Hal tersebut memberikan sebuah asumsi bahwa dasar kultur masyarakat Sunda adalah kepercayaan yang kuat terhadap yang gaib sehingga tingkat kesadaran mereka begitu tinggi dalam menjaga semesta beserta isinya. Kepercayaan tersebut jelas tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang memang mengajarkan Keesaan Tuhan dan Kebesaran Tuhan yang meliputi semesta beserta isinya. Apa bila penghayatan terhadap keyakinan masyarakat Sunda dihayati kembali dengan penalaran yang lebih kritis maka keniscahyaan akan terbuka lebar dalam upaya untuk menyelamatkan moral bangsa yang berguguran.

Salah satu alasan mengapa agama tidak relevan dalam menjawab tantangan global adalah karena kita membuat, dan menghidupi alam kosmos yang didesakralisasikan oleh kultur ilmiah. Pun benar adanya kultur ilmiah telah membawa kemajuan dalam bidang material namun hal tersebut secara langsung telah membunuh kepekaan kita terhadap yang sakral dan melahirkan budaya milenium yakni Nihilisme akut. Sudah saatnya kita kembali pada ajaran agama dan kearifan lokal dari keyakinan kita. Hal tersebut telah terbukti berdampak besar bukan hanya bagi kehidupan spirtitual namun bagi relasi-relasi manusia dan semesta.

Kearifan Lokal Sunda VS Nihilisme Global
Nihilisme adalah runtuhnya seluruh nilai dan makna yang meliputi semua bidang kehidupan manusia; yang terbagi menjadi dua yakni keagamaan (moral) dan Ilmu pengetahunan (sains). Wabah nihilisme sendiri berasal dari keruntuhan budaya barat yang tak terelakan. Friedrich Wilhelm Nietzsche menyatakan bahwa untuk melawan nihilisme adalah dengan nihilisme pula. Nihilisme aktif, mengakatan ya pada tantangan zaman. Tidak duduk diam dan menjadi seorang fatalis.

Konsep Nietzsche sendiri secara historis dialektis memang berbicara pada area budaya barat. Nietzsche pun sebetulnya me-reformulasikan kearifan lokal masyarakat Yunani kuno pada abad ke-5, dimana dalam pandangannya masyarakat tersebut telah berhasil mengatakan ya pada kesemerautan globalisasi dan nihilismenya. Adalah kita seharusnya menapak tilas dan menelaah ulang kearifan budaya kita agar dijadikan sebagai sebuah tameng yang mampu untuk menahan serangan sporadis dari nihilisme dan budaya global yang semakin tak keruan.

Kearifan Lokal budaya Sunda dalam tiga aspek relasi tersebut adalah sebuah kemanunggalan yang dapat membawa kita kepada tingkat kesadaran yang tinggi. Dasar dari kearifan Lokal masyarakat Sunda adalah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan tersebut bukan semata dalam konsep dogmatisnya saja namun direalisakan sebagai sebuah inti yang memengaruhi relasi lainnya. Bila kesadaran akan Tuhan telah tercipta dengan baik makan kesadaran akan relasi dengan semesta akan berjalan dengan baik pula. Masyarakat Sunda dengan kearifan lokalnya menyadari betul bahwa semesta adalah sebuah organisme tunggal. Bahwa manusia dam alam sekitarnya adalah mahluk yang harus saling menghormati, masyarakat Sunda meyakini sebuah konsekuensi logis dari segala sesuatu yang kita lakukan.

Kearifan Lokal masyarakat Sunda seharusnya dapat menjawab nihilisme karena prinsif komunalismenya yang akan membawa semangat egalitarianisme ke level yang paling tinggi, dan apabila hal tersebut dilakukan makan kepasifan dalam berkehidupan tidak akan terjadi. Setiap individu akan berusaha untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas demi kebahagian bersama yang langgeng. Setiap individu akan berusaha melakukan yang terbaik bagi sesamanya dan lingkungan sekitarnya karena kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menjadi mahluk Tuhan adalah menjadi mahluk yang bermanfaat bagi semesta. Dalam konteks budaya lokal dan budaya nasional bangsa Indonesia, pemahaman terhadap kearifan lokal dengan pandangan yang baru akan membuat slogan Bhineka Tunggal Ika  menemukan pemaknaannya dalam konstelasi multi-kulturalisme yang manunggal, bersatu dalam keberagaman menuju satu kehidupan yang lebih baik.

Betul adanya bahwa sifat dari budaya dan kearifan lokal adalah pragmatis, yang artinya memiliki nilai guna yang berkesesuaian dengan kebutuhannya. Heraklitus menyatakan: Panta rei, ouden menei.” Baginya, perubahan itu konstan yakni segalanya berubah kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan boleh jadi muncul pada ruang yang mewaktu dan waktu yang meruang; keduanya bertaut memintal hal-ikhwal, dan bergerak mencipta peristiwa. Itulah sebabnya perubahan muncul sebagai dualitas. Dalam dikotomi tersebut ajektif manusia tak seutuhnya dibentuk dalam kehistorisan kultural yang kaku, namun dalam kesederhanaan nilai-nilai lokal yang pragmatis namun tak selalu harus menuju ruang yang dekaden.

Referensi:
·      Sunardi, St. 1996. Nietzsche. Yogyakarta: Lkis.
·      Armstrong, Karen. 2006.  Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.
·      Piliang, Yasraf A. 2011. Bayang-Bayang Tuhan, Agama, dan Imajinasi. Bandung: Mizan
·      Ajidarma, Seno Gumira. 2002. Surat Darin Palmerah. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
·      Eliade, Mircea. 2002. Sakral dan Profan (Menyingkap Hakikat Agama). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
·      Hardian, Budi F. 2004. Filsafat Modern (Dari Machiavelli Sampai Nietzsche). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
·      Connolly, Peter (ed). 2002. Aneka pendekatan Agama. Yogyakarta: Lkis.
·      Sunyoto, Agus.  2006. Rahuvana Tattwa. Yogyakarta: Pustaka Sastra Lkis.
·      Baigent, dan Leighh, dan Lincoln. 2006. Holy Blood, Holy Grail. Jakarta: Ufuk Press.
·      Dr. Gugun Gunadi, M.Si. Reformulasi Kearifan Lokal Dalam Era Global. Makalah Martikulasi Program Pascasarjana STSI Bandung, 16 Maret 2012.  


Selasa, 21 Februari 2012

Catatan Yang Tidak Tuntas.


29 December 2011, Memang sulit untuk menjaga nalar dalam arus yang impulsif. Segalanya pasti berubah kecuali perubahan itu sendiri. Seperti kata Heraclitus: “Perubahan itu konstan; 'Panta rei, ouden menei' (semuanya mengalir, tidak ada yang diam).” Orang-orang yang kita jumpai pun dapat mengubah kita, terkadang perubahan itu begitu hebat, sehingga kita tidak sama lagi sesudahnya. Pun tidak selalu berdampak baik. Namun seperti halnya penolakan Iblis yang menyebabkan keterusirannya, keniscahyaan terkadang datang dari sesuatu hal yang penuh dengan nuansa kejadahan. Dan ya, seperti para filsuf Yunani yang mencoba memahami semesta dengan angka-angka yang elusif dan irasional, saya pun mencoba menalar segala sesuatu dengan kesadaran yang apa adanya tanpa subjektivitas yang kentara. Dan hal itu memang tidak semudah yang saya kira. Subjektivitas selalu melekat dan mengekang imajinasi dalam altar realitas yang menyebalkan. 

Saya bukan seorang atheis yang membunuh Tuhan dengan cara memutilasi kebenaranNya. Bukan pula seorang agnostik yang linglung dan serba bingung dalam pencarian realitas tertinggi melalui pemberhalaan terhadap keagungan akal yang berlebihan. Saya seorang theis, pun selalu memertanyakan motif kejumudan dalam beragama. Cap murtad melabeli kecintaan saya pada Tuhan karena penolakan saya terhadap pernyataan-pernyataan para ulama puritan yang sok tahu itu. Dan saya tidak peduli, benar-benar tidak peduli. Hanya Tuhan yang berhak menghakimi kehidupan spiritual saya. Hanya Tuhan Yang Maha Adil.

Banyak hal yang terjadi di tahun 2011, baik dan buruk, canda tawa, dan airmata saling melengkapi seperti halnya ayat-ayat suci yang bertautan mengenapi makna illahiah dan membenarkan eksistensiNya. Memang benar hidup tidak semudah bacot Mario Teguh. Hidup ini, ujar salah satu kawan baik saya seperti hompimpah alaihumgambreh (what the hell?). Tentu saja pernyatanya itu konyol namun sangat benar. Ada saatnya kita berada di atas dengan dada yang membusung menandakan kemenangan yang hebat. Namun ada kalanya kita berada di bawah, membungkuk, meratap, dan menangis dengan khidmat sembari mengepalkan tangan berdoa memohon kelapangan atas kekalahan terbesar kita.  Berapa kali kita menang? Berapa kali kita kalah? Bukan jumlah yang harus kita telaah melainkan kesadaran diri sebagai seorang mahluk yang berakal yang harus kita jadikan sebagai tameng dalam menghadapi serangan fajar carut marutnya kehidupan di dunia ini.

Bagi saya pribadi kehidupan layaknya lukisan Memento Mori; selalu ada tengkorak yang menyeringai di samping kita. Saya suka lukisan itu dengan berbagai wujudnya. Lukisan yang mengingatkan seseorang akan kesia-siaan ambisi manusia. Bahwa pada akhirnya hanya kematian yang akan menjadi juaranya. “Kematian begitu dekat dengan kita, bukan karena keharusan biologis tapi karena rasa iri. Kehidupan begitu indah sehingga maut jatuh cinta padanya; cinta yang buta dan pencemburu sehingga menyambar apapun yang dapat diambilnya.” Sebuah narasi dalam Kisah Pi yang menakjubkan itu bertutur demikian, dan “Maut itu indah tetapi berbahaya; tanpanya, kehidupan tidak akan bernilai.” Tulis Naguib Mahfouz dalam Mirrors.  Namun maut atau kematian hanya lompatan kehidupan tanpa raga dalam perjalanan panjang untuk kembali pulang. Seperti apa yang Al-Hallaj pernah utarakan: “Bunuhlah aku, O sahabat setiaku. Karena membunuhku berarti menghidupkanku. Hidupku ada dalam matiku, dan matiku ada dalam hidupku.” Karena kematian, menurut Al-Hallaj adalah konteks dalam makna, simbol, dan preferensi kehadiran Yang Maha Esa yang meleburkan diri ke dalam ruang-ruang dialogis manusia yang terbatas. Sehingga dalam nuansa ini, kematian menjadi sesuatu hal yang sangat berarti dan sangat diharapkan karena dapat mendekatkan diri dengan labirin non-eksistensi yang ajali, Tuhan.

03 January 2012, Ternyata benar, saya harus menyambung tulisan ini selepas perayaan tahun baru yang penuh dengan kegemerlapan yang carut marut. Dimana euphoria terbingkai serasi dengan hedonisme yang lekat dengan nuansa sisa-sisa paganisme. Pun demikian, tahun baru adalah semacam ejakulasi—sesaat—yang menawarkan pertunjukan mesum; genitnya tarian kembang api yang menari-nari di atas langit yang perawan; beragam warna muncul dalam beragam bentuk dan beragam suara yang berbarengan saat waktu menunjukan pukul 00:00. Lalu sesaat hening, kemudian mulai melintas kenangan euphoria yang sama tahun sebelumnya. Saya menghabiskan perayaan tahun baru kali ini bersama beberapa orang kawan baik sambil menenggak beer dan memamabiak aneka ria cemilan. Berbincang tidak tentu arah, mulai dari ketakziman para sufi dan kejumudan para ulama puritan, bacot sompral para pemimpin ormas yang bisanya hanya menyulut peperangan, hingga dialog imajiner bersama para filsuf kenamaan, dan tentu saja berandai-andai mendapatkan kesempatan untuk dapat duel dengan super hero lokal macam AA Boxer. Semuanya terangkum dalam tawa yang mengalir tiada henti serupa air bah di zaman nabi Nuh. Hingga mentari terlalu cepat menyapa kami, dan kami pun bergegas pulang, menggaspol kendaraan kami; membelah pagi hari kota Bandung yang semarak dengan sampah pasca perayaan tahun baru untuk secepatnya merebahkan tubuh dan menutup mata.    

“Terbuat dari apakah kenangan?” Tulis Seno Gumira Aji Darma dalam salah satu cerpennya. Dari pertemuan dan perpisahan, dari canda tawa dan air mata tulis saya kemudian. Kenangan, bagaimana pun bentuknya adalah sesuatu hal yang menunjukan bahwa kita manusia yang memiliki sense sebagai mahluk hidup utama yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Baik. Harus saya akui, beberapa hari ini saya dalam keadaan tidak baik sangat tidak baik. Keadaan yang menyebalkan bukan kepalang. Namun apa daya, saya harus menjalaninya, menerimanya dengan keluh kesah yang entah kenapa terucap begitu saja, mungkin karena saya hanya manusia yang terlalu biasa-biasa saja sehingga wajar saja jika saya mengeluhkan keadaan saya. Sebetulnya saya enggan untuk berkeluh kesah, haram hukumnya. Namun sialnya saya dipaksa untuk mengeluh hingga pada akhirnya saya menyadari dan berusaha menjalaninya se-enjoy mungkin, dan hari ini saya merasa mulai membaik. Dan semoga saja terus membaik.  Amen.

Saya teringat sebuah kisah tentang Sri Krishna sewaktu dia kecil. Konon, setiap malam tiba, Krishna mengundang para gadis di desanya untuk menari besamanya di dalam hutan. Mereka mengelilingi api unggun yang berkobar-kobar dan melahirkan siluet magis yang menari dengan lincahnya mengikuti irama serulingnya. Malam semakin larut, para gadis terus menari, menari, dan menari dengan jungjungan mereka yang melipat gandakan dirinya. Sehingga—konon—setiap satu gadis menari bersama satu orang Sri Krishna. Namun, ketika seorang gadis mulai menjadi posesif, menganggap Sri Krishna hanya untuk dirinya sendiri, sang avatar Wisnu itu pun menghilang dan hanya meninggalkan bara api sebagai jejaknya. Sebuah analogi sarat makna kehidupan, di mana keserakahan manusia hanya sia-sia adanya. Cinta terhadap materi akan musnah namun cinta terhadap Tuhan, seperti apa yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad adalah keabadian itu sendiri; keabadian yang penuh dengan kedamaian dan keindahaan yang sesungguhnya. Pada abad 551 BC, Confucius berkata hal yang sama: “Heaven means to be one with God.” Ya, surga berarti bersatu kembali denganNya. Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa segala sesuatu akan kembali kepadaNya? "Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluk)." Al-Mu'min 40:3

04 January 2012, Malam yang sama dengan malam sebelumnya. Malam yang sedikit banyak memberikan pelepasan yang sementara untuk terbangun di siang hari dan, kemudian, mulai bekerja hingga larut malam kembali. Namun terpujilah Tuhan yang telah menciptakan malam. Malam hari adalah keniscahyaan yang saya gunakan untuk sekedar menulis beberapa kalimat, menghisap beberapa batang rokok, dan meminun segelas kopi hitam yang nikmat tiada terkira. Sebetulnya, malam tidak pernah benar-benar sunyi, apa lagi hening. Selalu ada suara yang menemani, entah itu suara detak jarum jam atau pun suara jantung kita sendiri yang berdenyut dan menandakan bahwa kita masih hidup dan berada dalam dunia materi yang profan. Kesunyian sebetulnya adalah penegasian akan suara-suara yang sepenuhnya kita control dan kita inginkan, seperti saat kita sedang berdoa dengan khidmat. Kita sebetulnya sedang  menegasi suara hingga ke level yang paling rendah sehingga terciptalah keheningan. Keheningan terkadang menenangkan namun terkadang terasa begitu menyesakan.  

Tak banyak hal yang bisa saya ceritakan tentang pekerjaan saya, kecuali headset yang saya gunakan dalam bekerja rasanya seperti tali gantungan yang bila tidak berhati-hati dalam memakainya akan mencekik leher saya sendiri hingga terputus. Terputus? Ok, ini agak berlebihan, namun begitulah adanya. Tapi ya sudahlah, saya cukup senang bekerja di sana, bertemu dengan orang-orang hebat macam Ilmi yang dengan sifat Sunda-nya yang someah namun cadas bila dikonfrontrasikan dengan segala bentuk penindasan terhadap hak-hak kami sebagai buruh. Lalu dengan Bang Golan si orang super konyol yang berdarah Batak tulen namun mengaku sebagai orang Bandung dan mendukung Persib Bandung dengan jiwa dan raganya, setulus hati sedalam lautan, dan sebesar Stadion Jalak Harupat itu sendiri. J

Saya beruntung memiliki kawan-kawan yang baik hati tiada terkira, pun dengan bacot mereka yang amit-amit gaspolnya melebihi moto GP 500CC—Saya yakin mereka sarapan dengan knalpot motor GP. Kami, saya dan mereka memang tidak punya apa-apa selain dari bacot sesumbar dan lagak bak owner pemilik bank nasional, namun itu semua adalah cara kami untuk menertawakan kehidupan yang tidak pernah baik-baik saja. Menjalani segala kesukaran dengan leluconan sehingga terasa ringan seperti kapas yang bertebaran di luar angkasa sana. Dan terbukti, cara tersebut lebih ampuh dari pada mendengarkan kuliah-kuliah ekslusif Mario Teguh dan khotbah para ulama selebritis yang bisanya hanya menjajakan pahala dan menawarkan surga jejadian berbau amis. Jujur saja, saya menaruh respect kepada kawan-kawan saya yang berlidah pahit itu. Kejujuran mereka dan kesetia kawanan mereka mengajarkan banyak hal yang tidak saya peroleh sebelumnya.

Kamis, 20 Oktober 2011

TUHAN AGAMA


12 october 2011, Sejak kecil saya percaya bahwa Tuhan itu ada. Di kemudian hari saya percaya bahwa Tuhan adalah realitas tertinggi yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan—bahkan menciptakan ketiadaan itu sendiri (Creatio ex nihilo). Saya memiliki kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan. Pun dengan kadar keimanan yang, dalam perspektif kejumudan para ulama literalis, secara kuantitas syariat saya terbenam jauh di dasar klasemen. Namun saya percaya Tuhan tidak sekejam apa yang digambarkan dalam Perjanjian Lama, pula tidak sekaku apa yang para ulama fundamentalis-literalis itu tuturkan.  Meminjam pertanyaan Omar Khayam, “Jika Tuhan membalas keburukan dengan keburukan pula, lalu apa bedanya Tuhan dengan saya?”

Bagi saya, Tuhan sebagai realitas tertinggi tidak bisa didefinisikan sebagai sebuah fakta objektif atau melalui abstraksi intelektual yang hanya mengandalkan seperangkat proposisi textual yang yang dimaknai secara imajinatif. Untuk benar-benar memahami Tuhan diperlukan tingkat ‘kesadaran’ yang tinggi dan empirisme transendental melalui dimensi kontemplatif yang bersifat rasional. Tidak mengherankan jika gambaran perihal surga dan neraka dapat lebih dimengerti oleh sebagian besar manusia ketimbang gambaran tentang Tuhan itu sendiri. Hal tersebut terjadi karena keduanya, baik surga maupun neraka adalah realitas yang secara imajinatif benar-benar dapat dipahami. Dengan kata lain, manusia pada umumnya tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk memaknai realitas tertinggi melalui pendekatan historis, simbolik, imajinatif, rasionalistik dan illuminatif. 

Empirisme transendental selalu menghadirkan nuansa yang tak lazim. Nuansa yang datang dari sunyi ke bunyi lalu berakhir dengan konstruksi yang lebih rapih yang kita kenal sebagai agama. Agama sepertihalnya Tuhan bukanlah seperangkat proposisi tekstual yang dapat didefinisikan sebagai sebuah fakta objektif. Agama adalah ajaran pembebasan yang bersifat illuminatif, fleksibel, dan nisbi. Agama tidak bisa terlepas dari situasi asal usulnya yang kompleks. Hal inilah yang dilupakan sebagian besar manusia, sehingga dogma dan doktrin dari sebuah agama menjadi begitu banal dalam kejumudan yang pragmatis. 

Karena sifatnya yang pragmatik, agama, dalam sejarahnya yang panjang, selalu disalahgunakan, bahkan hal itulah yang sering dilakukan sebagian besar manusia. Sebelum senjakala saat Nietzche membunuh tuhan di wilayah barat, agama telah menjadi mitra yang sangat menguntungkan pihak penguasa yang ingin memanifulasi kehidupan manusia lainnya. Saya teringat Hobbes, “Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.” Namun, manusia lainnya ini pada umumnya bersikap anti-reaksionis bila dihadapankan kepada institusi keagamaan yang telah mendapatkan legalitas kaum penguasa. Hal tersebut adalah hasil dari ketakterjangkuan makna Tuhan dari suatu ajaran agama, seperti apa yang telah saya sebutkan di atas. Atau dalam kebanyakan kasus sengaja dibuat ‘tidakterjangkau’ dengan melabelkan kata haram ketika seseorang berusaha untuk menyingkap tabir Ilahi yang sesungguhnya demi menjaga peta-peta kekuasaan. 

Saya dibesarkan dalam nuansa religiusitas yang semarak. Almarhum kakek saya adalah seorang muslim tradisionalis yang bervisi seperti Hakim Bey, sedangkan nenek saya seorang puritan yang menegakan syariat pendahulunya namun cukup toleran bila dihadapkan dengan realitas kekinian. Sedangkan Almarhum kakek saya di pihak bapak adalah seorang pencari Tuhan. Beliau pernah memeluk berbagai macam agama. Saya sempat dibuat kaget ketika menemukan sebuah jurnal kecil milik almarhum yang berisi liturgi ordo Rosicrucian; sebuah ordo yang konon berafiliasi dengan ordo Kesatria Templar. Tapi pada akhir pencariannya, beliau menemukan Sufisme sebagai jalan ‘pulang’ menemui penciptanya. Dan kedua orang tua saya cenderung berpandangan moderat dalam ranah keagamaan; artinya biasa-biasa saja. 

Karena pengaruh nuansa religiusitas yang semarak itulah, bagi saya agama—Islam dalam hal ini—adalah ‘kata-kata’ Tuhan yang bersifat universal tanpa adanya sekat yang membatasi ruang gerak cahayanya. Saya ingin membebaskan Islam dari berbagai mitos yang secara tidak langsung menegasi maknanya; pun usaha-usaha saya selalu berakhir dengan label murtad atau atheis. Mitos-mitos dalam Islam sendiri adalah hasil dari pola-pola relasi yang bersifat normatif. Artinya, Islam sebagai sebuah ajaran agama tidak sepenuhnya terlepas dari ide awal (baca: Kebudayaan) sebuah masyarakat yang membentuk dan yang menerimanya. Di Indonesia sendiri, Islam tidak bisa terlepas dari kepercayaan awal masyarakatnya yang dahulu kala beragama Hindu-Buddha dan sebelumnya cenderung memiliki kepercayaan monotheistik primodial. Hal ini dapat dimaklumi secara alkulturasi historis, karena untuk merubah dasar sistem kepercayaan sebuah masyarakat adalah sesuatu hal tidak mudah.  Saya sependapat dengan Ali Asghar, bahwa dalam mengkaji Islam secara historis diperlukan pemahaman yang memadai mengenai realitas lingkungan yang konkrit di mana agama Islam itu di lahirkan, pula lingkungan lainnya yang menjadi tempat perkembangan selanjutnya. Ashgar meyakini bahwa untuk mengkaji Islam secara utuh diperlukan pendekatan secara matrealisme-historis. Pun—tetap—tidak sepenuhnya mampu menjawab kompleksitas dari sejarahnya. 

Sungguh ironis melihat fenomena yang terjadi di akhir zaman ini. Islam tak ubah seperti komoditas dagang yang dilempar ke hadapan altar pasar bebas dan mereduksi makna spiritualnya ke level yang paling fatal. Ini adalah hasil dari kejumudan para puritan yang ingin memoderenisasi Islam tanpa mengkaji ulang maknanya secara menyeluruh. Akibatnya begitu mengerikan, Islam menjadi sangat eklusif, menjadi sangat individualistik, dan menegasi makna sosialismenya. Dalam setiap ceramah di layar televisi, para penceramah yang jumud itu hanya berkoar tentang kesalehan individu, sebuah euphuism dalam mengobral pahala. Pun demikian, seperti kata Homicide, “khalayak tak pernah salah memuja Thagut penampakan.”, karena begitu banyak faktor yang membentuknya seperti itu. Adalah kita yang setidaknya mau belajar dan memahai makna Islam yang sebenarnya harus mengadakan perlawanan untuk memutus selang infus banalitas tersebut. Penalaran melalui pengetahuan yang baik dalam arti memadai, akan mengantarkan kita kepada pandangan yang lebih utuh dalam memaknai ajaran agama Islam. Tapi jangan pula menjadikan penalaran rasional sebagai pusat kebenaran, karena hal tersebut akan melahirkan berhala baru— kejumudan yang serupa, yang tak kalah mengerikannya dari penafsiran para ulama literalis terhadap Tuhan dan ‘agamaNya’. Adalah bagaimana kita menginternalisasinya melalui ‘hati’ kita, melalui kejernihan pikiran yang transendental, dan melalui pemahaman filosofis yang nisbi dalam keniscahyaan ‘kata-kata’ Tuhan tersebut. 

Saya sadari, catatan singkat ini tak cukup untuk merangkup kompleksitas relasional antara Tuhan, agama, dan manusia. Namun sungguh pun demikian, saya berharap, siapapun yang membaca catatan saya mendapatkan sebuah keniscahyaan dan memaknai tulisan saya ini sebagai sebuah kemungkinan di antara ruang ke-tidakmungkin-an. Ke-semementara-an makna dalam ketidak-sementara-an. Sehingga tercipta sebuah pandangan baru yang mungkin saja dapat mengantarkan kita kembali pada kemurnian makna Tuhan, agama, dan kita sendiri. Umat manusia. 

Word: Lingga Agung Partawijaya
Repertoire:
1.       Niyaz – Allahi Allah
2.       Tori Amos & Maynard James Keenan – Muhammad My Friend
3.       Russian Circle – When The Mountain Comes To Muhammad
4.       Efterklang – Illuminant
5.       God Is An Astronaut – Infinite Horizons
6.       A Silver Mt. Zion – Sisters! Brothers! Small Boats Of Fire Are Falling From The Sky!
7.       Peter Gabriel Feat Nusrat Fateh Ali Khan – Signal To Noise